Kota Yogyakarta sebagai kota multikultur menyimpan banyak kisah akulturasi dalam berbagai bentuknya. Semangat akulturasi budaya dan masyarakatnya tidak pernah lekang oleh zaman. Terselip diantara pertokoan kawasan Malioboro, terdapat tempat ibadah yang berasitektur menyerupai kelenteng. Masjid Siti Djirizah adalah nama yang dibubuhkan pada fasad masjid, didampingi dengan huruf mandarin yang jika dibaca berbunyi Qingzhensi, dan huruf arab yang dapat dibaca masjid.
Didirikan pada tahun 2018 oleh seorang pengusaha, bangunan Masjid Siti Djirizah terbilang unik karena tampak depan lebih mirip seperti bangunan pertokoan di sepanjang jalan Malioboro, namun atapnya khas arsitektur Tionghoa, begitu pula ornamen masjid di bagian luar dan dalam. Tanpa menggunakan warna khas kultur Tionghoa yakni merah, interior dalam masjid masih kental dengan akulturasi budaya Tionghoa diwakili warna biru dan emas. Namun, fungsi bangunan ini tetaplah rumah ibadah untuk umat muslim, yang lengkap dengan ruang sholat yang terbagi menjadi pria dan wanita. Masjid ini pun dilengkapi dengan fasilitas bagi wisatawan yang akan beribadah.
Pada bulan Ramadhan tahun ini, Masjid Siti Djirizah mengadakan kegiatan rutin yakni sholat tarawih berjamaah yang dapat diikuti oleh pengunjung Malioboro, baik wisatawan maupun warga Kota Jogja. Lokasi masjid yang strategis dan dapat memuat lebih dari 50 orang ini mempermudah wisatawan untuk melaksanakan ibadah malam hari di bulan Ramadhan di Malioboro. “Saya kira ini toko waktu saya masuk ternyata masjid, kebetulan pas waktu sholat isya’ sehingga saya bisa sholat berjamaah bahkan sampai sholat tarawih. Saya jadi nyaman berwisata di Malioboro karena tetap bisa menjalankan ritual ibadah,” ungkap Syifa wisatawan berasal dari Surabaya. Berkat kepedulian warga, Kota Jogja menjadi tempat wisata yang nyaman, aman, dan memenuhi kebutuhan wisatawan.