Pameran Parama Iswari
Perempuan, sepanjang sejarah, telah menorehkan jejak yang signifikan dalam peradaban Nusantara. Dalam tradisi Hindu-Buddha, perempuan seringkali dipandang sebagai wujud "sakti" (daya aktif) para dewa, yang dilambangkan dalam figur istri. Pandangan ini tercermin dalam kitab Manu Smrti yang menganggap perempuan sebagai tiang penyangga keluarga yang memenuhi tugas dan kewajiban seorang ksatria. Dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa, Srikandi merupakan sosok perintis yang melambangkan cita-cita ideal wanita yang terus berkembang dari generasi ke generasi.
Jejak langkah perempuan dalam sejarah Keraton Yogyakarta juga menunjukkan peran yang tidak bisa diabaikan. Di awal abad XIX, ketika keraton dilanda goncangan akibat penjajahan Inggris, muncul nama Raden Ayu Djajaningrat dan para prajurit perempuan yang berani menentang kekacauan. Mereka dijuluki "srikandi kedaton" yang berani berdiri teguh di sisi Sultan dalam mengatasi krisis. Kisah ini menunjukkan bahwa keberanian dan keuletan bukanlah monopoli laki-laki dalam masyarakat Jawa.
Di era kolonialisme, perempuan Jawa dimasukkan ke dalam kategorisasi "subaltern", yang merujuk pada kelompok marginal yang kekuasaannya terbatas. Dalam konteks kolonial yang dominan maskulin, perempuan seringkali tidak mendapatkan ruang untuk mengungkapkan diri dan pendapatnya.
Namun, seiring dengan munculnya narasi tandingan, gambaran tentang perempuan sebagai subaltern mulai terkikis. Gagasan "the second sex" oleh Simone de Beauvoir membuka mata dunia tentang konstruksi sosial yang menetapkan perempuan sebagai "lainnya" dari laki-laki.
Berangkat dari konsep tersebut, Keraton Yogyakarta menyelenggarakan Pameran Parameswari Mahasakti Keraton Yogyakarta, yang bertujuan untuk mengungkap kembali peran dan kekuatan perempuan dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Pameran ini menawarkan peluang bagi perempuan untuk mendefinisikan kembali arti "keperempuanan" berdasarkan kapasitas dan kontribusi mereka.
Nyi R. Ry. Noorsundari, selaku Pimpinan Produksi Pameran Parameswari, menjelaskan bahwa pameran ini merupakan perjalanan menelusuri peran perempuan di Keraton Yogyakarta sejak masa Sultan Hamengku Buwono I hingga saat ini. Koleksi yang ditampilkan meliputi busana, perhiasan, manuskrip, dan arsip catatan keuangan yang mencerminkan peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan keraton.
Fajar Wajanarko (Mas Jajar) Pradanareja Guritno, selaku Kurator Pameran Parameswari, mengungkapkan arti kata "Parameswari" dalam bahasa Jawa yang menunjuk pada "langkung luhuring pawestri" atau lebih dari perempuan utama. Istilah "Parameswari" telah digunakan sejak abad ke-9 dan menempati posisi penting dalam memori kolektif budaya Nusantara hingga saat ini. Peran dan ketokohan perempuan yang melekat pada istilah "Parameswari" seringkali dikaitkan dengan konsep "sakti".
Pameran Parameswari Mahasakti memadukan narasi sejarah dengan konsep "Parameswari" untuk mengungkap kisah perempuan yang berperan penting dalam perjalanan sejarah Keraton Yogyakarta. Pameran ini mencoba memperlihatkan bagaimana peran perempuan dalam keraton tidak hanya terbatas pada ruang privat, tetapi juga menjangkau bidang militer, budaya, dan sosial.
Raden Ayu Kadipaten, istri dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, merupakan contoh tokoh "Parameswari" yang berpengaruh. Ia tidak hanya menjadi istri Sultan, tetapi juga memiliki peran penting dalam militer sebagai panglima perang prajurit Langenkusumo. Raden Ayu Kadipaten juga tercatat sebagai guru dan nenek dari Pangeran Diponegoro, pahlawan yang memimpin Perang Jawa.
Tidak hanya Raden Ayu Kadipaten, setiap Sultan yang bertahta di Keraton Yogyakarta memiliki "Parameswari" yang berperan penting dalam menjalankan kerajaan. Raden Ayu Andayaningrat, seorang diplomat ulung, berperan penting dalam menegosiasikan kembalinya Sultan Hamengku Buwono II dari pengasingan di Saparua. GKR Kencana, permaisuri dari Sultan Hamengku Buwono VII, terkenal dengan kemampuan matematika yang hebat dan berperan penting dalam mengelola keuangan Keraton Yogyakarta.
Pameran Parameswari Mahasakti bukanlah sekedar menampilkan kisah perempuan di Keraton Yogyakarta, tetapi juga menguatkan pesan tentang peran perempuan yang sepanjang sejarah telah berkontribusi dalam pembentukan identitas dan kebudayaan Jawa. Pameran ini merupakan ajakan untuk menghargai dan mengakui peran perempuan yang selama ini sering terlupakan.
Pameran diselenggarakan oleh Kawedanan Radya Kartiyasa, Keraton Yogyakarta.
1. Pameran dibuka sejak Sabtu, 5 Oktober 2024, di Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
* Lokasi pameran berada di Kagungan Dalem Kedhaton, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
2. Pameran masih berlangsung dari 6 Oktober 2024 hingga penutupan pada 26 Januari 2025.
3. Waktu kunjungan pameran pukul 08.30 - 14.30 WIB.
Pembukaan pameran telah dilaksanakan dan didukung dengan Pertunjukan Wayang Wong yang dipersembahkan oleh Kawedanan Kridhamardawa, Keraton Yogyakarta yakni:
1. Pertunjukan Pembukaan: Wayang Wong Darmadewa Darmadewi
2. Lokasi Pertunjukan: Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
3. Waktu Pelaksanaan: 1 Oktober, 2 Oktober, 4 Oktober, dan 5 Oktober 2024
4. Pukul: 19.00 WIB – selesai
Kegiatan Pendukung
Penyelenggaraan pameran didukung dengan program publik yang terdiri dari beberapa kegiatan yang dapat diikuti oleh masyarakat umum, di antaranya:
1. Tur Kuratorial
2. Kuliah Umum Terbatas
3. Lokakarya Tata Rias
Instagram: @kratonjogja.event @kratonjogja
Tiktok: @kratonjogja.id
Facebook, Youtube: Kraton Jogja
Website: kratonjogja.id